Perjalanan GP Ansor di Masa Pemerintahan Orba

>> Selasa, 13 Januari 2009 | Kategori:

GP ANSOR DALAM SEJARAH ORDE BARU

Mencoba Berpolitik Praktis

Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.

Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.

Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.

Kongres VII 1967

Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)

Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Penegasan Politik Gerakan

Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.

Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut.

Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya.

Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.

Menolak Kembalinya Kekuasaan Totaliter

Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.

Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards.
Masalah Toleransi Agama

Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.

Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam.

Dalm Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen Ansor terhadap ideology Pancasila.

Bidang Organisasi

Dalam hal penyempurnaan organisasi, Jahja Ubaid mengemukakan, “Ansor hanya bergantung pada kekuatan Gerakan Sendiri. Tekad untuk mandiri ini sesungguhnya sudah tercetus sejak Kongres VII. Jika kini GP.Ansor selalu menyatakan gagasan kemandiriannya, sesungguhnya merupakan kelanjutan dari tekad yang telah dikobarkan sejak lama itu.

Tekad itu tercermin dari beberapa keputusan, baik mengenai pemberian wewenang maupun otonomi Pimpinan Wilayah dan Cabang serta upaya pembentukan badan usaha Ansor. Sejak Kongres VII Pimpinan Wilayah diberikan wewenang mengesahkan pengurus departemen di tingkat cabang, dan begitu pula Pimpinan Cabang terhadap pengurus (departemen) di bawahnya. Selain itu, Pimpinan Wilayah di beri hak mengeluarkan kartu anggota di wilayah masing-masing dengan petunjuk dari pucuk pimpinan (untuk keseragaman).

Di bidang dana, Pimpinan Wilayah diperbolehkan mendirikan badan usaha untuk menghidupi organisasi, sedang, di Pucuk Pimpinan telah dibentuk Yayasan Dharma Pemuda yang akan mengusahakan dana bagi pembiayaan PP GP Ansor. Sedangkan pengurus yayasan adalah: H. Anwar Hadisujanto (ketua), HA. Chalid Mawardi (Wakil Ketua), H.Abdul Aziz (Wakil Ketua), H.M. Danial Tanjung (Sekretaris), Hadi Wurjan SH (Wakil Sekretaris), dan Drs. Djawahir (Bendahara).

Federasi Pemuda Indonesia

Seperti di ketahui bahwa saat penumpasan G 30 S/PKI, Ketua Umum GP Ansor, Jahja Ubaid adalah juga Ketua Presidium Front Pemuda Pusat. Beranggotakan sembilan organisasi pemuda. Dalam kongres VII sikap kepeloporan Ansor bagi pembentukan wadah federatif itu dipertegas kembali. Kongres mengamanatkan kepada PP GP Ansor agar secara terus menerus meningkatkan kepeloporannya dalam mempersatukan pemuda Indonesia.

Bertolak dari amanat itu, maka pada tanggal 28-30 Januari 1968 di Jakarta diadakan rapat kerja Presidium Front Pemuda pusat. Hasilnya, nama front Pemuda yang berbau revolusioner itu diubah menjadi Federasi Gerakan Pemuda Indonesia. Jahja Ubaid terpilih kembali sebagai ketua umumnya. Sedangkan sembilan organisasi yang membentuk federasi itu adalah: Pemuda Ansor, pemuda Pancasila, pemuda Muhammadiyah, Pemuda Khatolik, Pemuda Muslimin, P31/Soksi, GAMKI, Pemuda Islam dan Pemuda Marhaenis. Adalah fakta bahwa Ansor merupakan pelopor terbentukannya federasi Pemuda Indonesia. sebuah federasi yang tentunya menjadi embrio KNPI. Sebagai organisasi pemuda, dengan demikian, GP Ansor telah mengimplementasikan komitmen kepemudaannya, yakni pemuda Indonesia.

Konverensi Besar 1969

Tidak banyak yang dilaporkan pada konbes, kecuali mengulangi penegasan politik gerakan yang diputuskan di kongres. Hal menarik, agaknya, soal hubungan Ansor dengan NU. Dalam laporan kebijaksanaan politik GP Ansor pada konbes disebutkan, antara lain, pengulangan ikrar GP Ansor, pembela dan penjunjung tinggi yang setia dan terpercaya dan cita-cita partai NU, dan arena itu ia harus ikut menentukan garis politik Partai NU.

Atas dasar itu, Pucuk Pimpinan tak henti-hentinya menyampaikan appeal kepada Ketua PBNU. Juga dalam setiap pertemuan dengan NU, PP GP Ansor senantiasa berupaya untuk mencapai dua sasaran: a) menghilangkan syakwasangka yang mungkin ada terhadap gerakan dan dengan demikian berusaha menyakinkan ata maksud baik Gerakan; b) menyarankan agar tetap menjaga kepemimpinan yang kompak dan kolegial dalam PBNU.

Konverensi Besar 1979

Lingkungan internal, mendorong GP Ansor untuk tampil sebagai pembela dan penjunjung tinggi cita-cita partai NU. Sebagai pembela, tentu mengerahkan segala daya untuk keselamatan yang dibela. Bahkan dalam segala peristiwa apapun, si pembela harus mampu menunjukkan kesungguhannya sebagai pembela. Bila perlu, ia harus melawan tuntutan jaksa.

Lingkungan eksternal waktu itu, hanya menginginkan kokohnya pemerintahan Orde Baru. hal ini wajar karena kesalahan pemerintah Orde lama menuntut pembenahan secepatnya di segala sektor. Untuk itu, sejak pengukuhan Jenderal Soeharto sebagai Presiden (Maret 1968), format politik mulai ditata. Menurut Alfian, dalam menciptakan format politik baru itu, Soeharto banyak berorientasi pada pengalaman sejarah.

Harus diakui bahwa perjalanan memantapkan format politik baru itu, banyak terjadi benturan keras—terutama dari NU. Puncaknya pada pemilu 1971 (3 Juli) di mana NU berhadapan dengan GOLKAR, selanjutnya disusul pembentukan KORPRI (29 November 1971) dan seterusnya (5 Januari 1973) fusi 5 Partai Islam menjadi PPP, maka lengkaplah penderitaan NU dan tentu juga GP.Ansor.

Sebagai ilustrasi, peran GP.Ansor sebagai pembela patut dipertanyakan. Sebab, nyatanya, bukan yang dibela saja yang tergulung, tapi juga dia sendiri ikut pingsan. Setelah fusi menjadi PPP, eksistensi organisasi NU maupun GP.Ansor seperti lenyap bahkan dimana-mana (termasuk dikalangan pemerintah) muncul anggapan bahwa NU maupun GP Ansor sudah tiada. Masyarrakat takut menyebut dirinya NU, mengaku dirinya Ansor. Inilah zaman NU phobi dan Ansor phobia.

Kongres IX 1985

Kongres IX ini berlangsung sejak tanggal 19-23 Desember 1985 di Bandar Lampung. Seperti telah disinggung, bahwa Kongres GP Ansor tak pernah sepi dari konflik memperebutkan kedudukan Pucuk Pimpinan. Tidak terkecuali Kongres IX, persaingan itu berlangsung begitu ketat. Baru berakhir setelah kongres memilih Drs.Slamet Effendi Yusuf sebagai Ketua Umum. Terpilihnya Drs. Slamet Effendi Yusuf (sebelumnya Wakil Sekjen) adalah jawaban dari adanya konflik.

Meski begitu, bukan berarti kongres pasca asas tunggal ini hanya didominasi konflik. Beberapa keputusan penting, baik yang menyangkut program kerja, penyempurnaan AD/ART (penetapan pancasila sebagai asas organisasi) dan pokok-pokok pikiran tentang ideologi, pemilihan umum, pendidikan dan kepemudaan berhasil dirumuskan. Bahkan sikap GP.Ansor terhadap ketiga kekuatan social politik pun digariskan dengan istilah popular eguil-distance. Membikin jarak yang sama (dekat atau jauh) secara aktif.

Hal menarik dari kongres IX adalah dikukuhkanya Deklarasi Semarang dan Triprasetya Ansor, dalam pokok program GP.Ansor periode 1985-1989 pada bidang doktrin dan kepribadian. Ini berarti arah gerakan akan senantiasa mengacu pada tiga komitmen dasar tadi. Konsekuensinya terhadap pengelolaan organisasi mesti ditempuh secara profesional kepemudaan. Artinya, semua pengurus Gerakan di setiap eselon harus bersungguh-sungguh mengelola organisasi, tapi tetap berpijak pada kepentingan kepemudaan, ke- Indonesiaan dan ke- Islaman atau keagamaan.

(Diambil dari Buku Choirul Anam Mantan (Ketua PWAnsor Jawa Timur), dengan judul “Gerak Langkah Pemuda Ansor; Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran”, Oleh: Tim Redaksi GP-Ansor Online)

(sumber: www.gp-ansor.org)

www.gpansorkepanjen.blogspot.com

Klik juga yang di bawah ini :



0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda

Tentang Kami

Kami adalah warga generasi muda Nahdliyin.

Iklan Gratis

Untuk Semua Anggota PAC GP Ansor Kepanjen yang ingin memasang iklan gratis di sini, silahkan menghubungi crew blog ini di 0341-9460677.

Islamic Voice



Quantcast
Klik SHARE diatas bila ingin meng-copy widget ini ke Blog Anda.

Kirim Artikel ke Blog ini

Untuk Semua Anggota PAC GP Ansor Kepanjen yang ingin mengirim artikel ke Blog ini silahkan kirim ke email : rey@yaiyalah.com. Artikel kopi-paste harap disertakan keterangan sumbernya. Setiap artikel harap disertakan juga gambar/foto yang bisa dilampirkan di email tersebut. Terima kasih.

  © Copyright 2009 PAC GP Ansor Kepanjen Supported by InfoKepanjen.com

Back to TOP