Keuangan (BPK), Penulis Buku
Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Itulah ucapan pertama yang keluar dari mulut saya tatkala mengetahui meninggalnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sembari tak melepaskan pandangan dari layar televisi hanya beberapa saat selepas beliau menghadap- Nya.
Padahal berita itu baru saja melaporkan beliau dibawa ke rumah sakit dan dijenguk oleh Presiden RI. Saya merasa menyesal karena belum sempat menyerahkan langsung buku saya terbaru yang pernah kami perbincangkan di Kantor Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU). Namun, memang itulah selalu yang terjadi, kita hanya merencanakan sesuatu, sedangkan keputusan selalu ada pada-Nya.
Tentu saja banyak, bahkan banyak sekali,yang merasa kehilangan atas berpulangnya beliau ke Rahmatullah. Buktinya masa perkabungan itu seolah tak ada habishabisnya. Puluhan ribu pelayat mengantarnya ke persemayaman terakhir.Hari-hari berikutnya masih banyak yang datang berziarah.
Agaknya semua warga bangsa,bahkan banyak bangsa lain,ikut mengungkapkan rasa kehilangannya. Gus Dur disenangi banyak orang, dari semua unsur,baik etnik,aliran, golongan, partai maupun agama. Tak aneh bila beliau disebut sebagai tokoh pluralis, di samping tokoh demokrasi dan pelindung kaum minoritas.
Nasi Bungkus
Saya mengenal beliau sejak awal-awal tahun 1980-an. Bertahun- tahun kami bertemu dan berbincang di perpustakaan majalah Tempo.Ketika itu saya menjadi redaktur di majalah Medika, sedangkan Bu Nurijah di majalah Zaman. Keduanya anak perusahaan PT Grafiti,Tempo Group. Sembari menunggu Bu Nurijah, kami berdiskusi di perpustakaan yang terletak di Proyek Senen itu.
Sesekali kami makan nasi bungkus bersama. Di perpustakaan itu pula naskah untuk kolomnya di majalah Tempo acap kali lahir.Tatkala itu Penerbit Grafiti,anak perusahaan PT Grafiti lainnya,menerbitkan buku yang amat terkenal Mati Ketawa ala Rusia. Jika buku saya Orang Batak Naik Hajidiilhami buku Orang Jawa Naik Haji-nya Danarto (yang kala itu redaktur di majalah Zaman), maka buku saya Ketawa Ngakak di Senayan diilhami oleh buku Mati Ketawa ala Rusiadi atas.
Topik perbincangan kami kalau bertemu memang biasanya hanya di sekitar buku atau dunia tulis-menulis. Termasuk seusai salat Idul Adha pertama di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh seusai tsunami (pada tahun 2005). Gus Dur ikut dalam rombongan Bapak Presiden, sedangkan saya berkunjung sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengaudit bantuan darurat untuk bencana tsunami itu. Tatkala beliau berdiri di pintu belakang bersama Mbak Yeni (putrinya), saya menyapa sembari menyalami.
“Baharuddin Aritonang,Gus Dur!” ucap saya nyaring. Langsung saya diberi jawaban begini,“Wah,kalau begini Anda bisa menulis buku ‘Orang Batak Salat Id di Mesjid Raya Banda Aceh’,” balas Gus Dur. Rupanya Gus Dur juga membaca buku saya Orang Batak Naik Haji. Iya dong, jawabnya ketika keraguan itu saya lontarkan.
Saya kemudian bercerita, ketika menulis buku Ketawa Ngakak di Senayan, sesungguhnya saya berharap Gus Dur yang membuat kata pengantarnya. “Kenapa tidak Anda minta,” tanyanya. Ketika itu Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia. Saya ragu, ujar saya. “Memangnya kenapa? Coba kau temui saya.Kalau tidak Istana,yadi Ciganjur,” ucapnya santai. Saya pikir Gus Dur tidaklah berbasa basi.
Teman Semua Orang
Ketika saya menulis buku berikutnya, Orang Batak Berpuasa, saya minta pula komentar beliau untuk kulit belakang.Komentar itu pun dimuat oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), penerbitnya. Ternyata artikel berjudul sama, “Orang Batak Berpuasa”, muncul di harian Seputar Indonesia. Tak aneh jika kemudian terjadi sedikit perdebatan di harian Seputar Indonesia edisi Sumatera Utara (Sumut) tentang topik ini.
Artikel semacam ini lahir dari Gus Dur sesungguhnya wajar saja.Kebetulan salah seorang besan Gus Dur berasal dari kampung saya di Padangsidempuan di mana latar belakang cerita berpuasa itu lahir. Buku saya yang terakhir pun tak lepas dari perbincangan kami.Karena itu, saya berniat menyampaikannya kepada beliau.Tapi niat itu tidak kesampaian. Beliau keburu menghadap-Nya.
Tentu saja tidak sekadar itu. Wawasan Gus Dur teramat luas untuk hanya mengupas buku atau melahirkan ulasan tentang Batak dan tentang berpuasa.Apalagi kehidupan beragama di kampung saya yang memang mayoritas penganut ahlussunnah waljamaah alias kaum nahdliyin. Sebagaimana kita ketahui, wawasan Gus Dur melampaui sekat-sekat kehidupan beragama, bahkan semuanya itu dilaksanakan dalam kehidupannya sehari-hari.
Dia amat menghargai sesama, seorang yang amat toleran dan humanis. Tak mengherankan bila harian Seputar Indonesia secara rutin memuat tulisan-tulisannya dengan beragam topik yang amat luas. Dulu,di tahun-tahun awal 1980- an, Gus Dur malah rajin menulis ulasan tentang pertandingan sepak bola di sebuah harian nasional. Bahkan Gus Dur juga lama aktif di Dewan Kesenian Jakarta atau di Festival Film Indonesia (FFI).
Belum lagi beliau menjadi Ketua Umum PB NU,organisasi kemasyarakatan terbesar, atau mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bahkan pernah menjadi orang nomor satu di Republik ini. Tak aneh bila seperti penguasaan ilmu dan wawasannya, pergaulannya pun begitu luas dan beragam. Terkadang saya juga merasa malu kalau mengatakan kenal dengan Gus Dur.Karena rasanya semua orang seperti saya.Gus Dur teman semua orang dan semua orang akan merasa kehilangan dengan kepergiannya. Selamat jalan Gus Dur! (Sumber: Sindo, 12/01/10)
www.gpansorkepanjen.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda