No. 08/K-XIII/P5/IV/2005
PROGRAM KERJA GP ANSOR
MASA KHIDMAT 2005-2010
BAB I
PENDAHULUAN
Gerakan Pemuda Ansor (selanjutnya disebut GP Ansor) merupakan ormas kepemudaan (OKP) Islam terbesar di Indonesia. Namun demikian, sebagai badan atonom (Banom) dari sebuah organsasi induk, keberadaan GP Ansor menjadi bagian integral dari Nahdlatul Ulama (NU) yang gerakannya bertujuan untuk mengorganisir para pemuda Indonesia yang beragama Islam menjadi kader NU yang handal. Dengan posisi yang unik (uniqueness) itu, di satu sisi sebagai ormas kepemudaan, GP Ansor mempunyai kemandirian dan keleluasaan dalam mengaktualisasikan visi, misi, program, dan kegiatannya. Akan tetapi di sisi lain sebagai salah satu Banom NU, GP Ansor memiliki keterikatan batin, kultural, dan kewajiban moral untuk tunduk pada ketentuan organisasi NU.
Karena itu, dengan posisi yang begitu unik tersebut, GP Ansor tidak saja dituntut selalu peka dan cermat dalam membaca situasi internal NU, akan tetapi juga dapat merespon situasi eksternal. Ini berarti sikap, program, dan kebijakan yang diambil GP Ansor tidak hanya dapat berdampak bagi dirinya dalam mendukung pencapaian cita-cita yang dikehendaki Nahdlatul Ulama, akan tetapi juga berpengaruh bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara.
Untuk itu, selama lima tahun terakhir (2000-2005) GP Ansor telah merealisasikan berbagai program yang diarahkan untuk mendukung eksistensi dan perannya di atas, utamanya bagaimana GP Ansor dapat mengkhidmatkan diri di tengah perubahan transisional demokrasi di Indonesia, baik dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara. Â
Pengkhidmatan yang telah dijalankan GP Ansor tersebut telah membawa hasil yang menggembirakan. Sekalipun kemudian di sana sini masih dijumpai beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya. Memang, seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kian cepatnya perubahan kehidupan yang terjadi dewasa ini, GP Ansor tentu saja juga turut menjaga perubahan itu agar dapat berjalan dinamis dan konstruktif melalui aksi-aksi dan pengayaan wacana yang tidak terperangkap ke dalam anarkhisme dan ekstremitas di luar gerakan Ansor.
Dalam proses perubahan yang cepat itu, GP Ansor berada dalam posisi untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan-kekuatan pemuda yang sangat penting artinya bagi proses pertumbuhan demokrasi. Karena tanpa sikap yang berimbang, sulit ditemukan kejernihan dan kearifan dalam menyikapi suatu perubahan. Di sinilah pentingnya visi demokratisasi itu sendiri di tengah perubahan transisionalnya, agar wahana-wahana kebebasan yang diberikan oleh demokrasi tidak menjadi lahan liar yang tidak terkontrol. Demokrasi bagaimana pun tetap membutuhkan aturan publik yang disepakati bersama sebagai produk hukum. Bagi GP Ansor, perubahan dinamis dalam sistem demokrasi yang menjadi tuntutan global di negeri ini harus mengalami akulturasi dengan nilai-nilai kebudayaan nasional.
Dalam pada itu, terdapat dua masalah pokok negara-negara di belahan dunia, termasuk Indonesia yang tengah mengalami fase awal transisi menuju demokrasi, yaitu problem transisional dan kontekstual. Problem transisional berhubungan dengan perubahan rezim dari otoritarianisme menuju demokrasi, baik menyangkut penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh eksponen-eksponen rezim lama yang masih kuat, maupun menyangkut penataan hubungan sipil-militer dalam kerangka sistem demokrasi. Problem kontekstual terkait dengan karakter masyarakat, baik berdimensi ekonomi, kultural maupun historis. Konflik etnis dan komunal, antagonisme regional, kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi merupakan contoh masalah-masalah tersebut. Sementara penguasa rezim otoriter gagal menyelesaikan masalah-masalah tersebut, tidak ada jaminan bahwa pemerintah baru yang demokratis akan mampu menyelesaikannya.
Tetapi bersyukurlah, walaupun berbagai persoalan berat masih dihadapi, kita setapak demi setapak mulai melangkah menuju babak baru fase konsolidasi demokrasi. Salah satunya adalah kesuksesan kita untuk melaksanakan agenda besar Pemilihan Umum 2004, baik untuk memilih anggota parlemen maupun presiden secara langsung, yang merupakan pengalaman pertama dalam perjalanan sejarah Indonesia sejak berdirinya di tahun 1945.
Seorang pakar politik senior berkebangsaan Amerika Serikat, Dr. Theodore Friend, pernah mengungkapkan ketakjubannya menyaksikan Pemilu 2004 yang terjadi di Indonesia berlangsung relatif jujur, damai, dan demokratis. Pakar politik terkemuka dari AS tersebut mengungkapkan kekagumannya dengan menulis “Inilah pemilihan presiden langsung terbesar yang pernah terjadi di muka bumi dalam sepanjang sejarahâ€. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, agama, dan budaya, dengan luas geografis yang terbentang dari Aceh hingga Papua, tentu menjadi nilai lebih tersendiri. Belum lagi kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tentu membuat kisah sukses ini menjadi kian bermakna.
Dalam pada itu, terdapat sejumlah pelajaran penting yang dapat dipetik dari dua peristiwa besar yang kita alami dalam perjalanan berbangsa dan bernegara dalam kurun waktu terakhir ini, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 dan Bencana Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara pada 26 Desember 2004 lalu. Dalam peristiwa pertama (Pemilu 2004) kita mendapat pelajaran berharga, adalah keliru menyimpulkan bahwa rakyat Indonesia menyukai kekerasan, bahwa mereka adalah warga yang bodoh dan kerdil dalam berpolitik. Kenyataan menujukkan sebaliknya, pemilihan umum berjalan relatif damai, jujur, demokratis, dan rakyat Indonesia ternyata telah matang dan dewasa dalam menentukan pilihan politik untuk membangun masa depan mereka.
Begitulah kita mendapati banyak klaim para pemimpin partai politik kita ternyata hanya retorika; suara mereka tidak diikuti oleh pilihan para warganya yang rupanya lebih menuruti mata hati dan mata kesadaran mereka sendiri. Terpilihnya pasangan Presiden dan Wakil Presiden; Soesilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla (SBY-MJK), walaupun secara resmi hanya disokong oleh partai-partai berpendukung kecil, menunjukkan bahwa rakyatlah yang berdaulat bukan elit partai yang gemar berbicara mengatasnamakan warganya. Dari pelajaran pertama ini kita menangkap pesan bahwa kini saatnya para pemimpin untuk mendengarkan dengan seksama suara hati warganya, bukan sekadar mengikuti hasrat dan dorongan sesaat kepentingannya sendiri maupun orang-orang dekat di sekelilingnya.
Dan peristiwa kedua (bencana tsunami di Aceh), kita juga mendapat pelajaran bahwa solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan ternyata menjadi energi dan kekuatan besar yang dimiliki oleh rakyat Indonesia, bahkan seluruh warga dunia. Demikianlah begitu berita musibah kemanusiaan ini tersebar, maka respon tulus dari berbagai kelompok masyarakat di pelosok-pelosok penjuru negeri dan seluruh dunia muncul bagai air bah. Bencana tsunami telah menghadirkan gelombang pasang solidaritas kemanusiaan sejagat yang tidak ada taranya dalam sejarah dunia.
Kenyataan itu menepis pesimisme bahwa kehidupan modern dan kapitalistik telah mengikis habis kepedulian terhadap nasib orang lain, khususnya mereka yang lemah dan terkalahkan. Kenyataan ini menantang kerisauan bahwa masyarakat telah terkapling dalam kotak-kotak sempit, baik atas nama agama, etnisitas, hingga “otonomi daerahâ€. Peristiwa tragis itu memberikan kita harapan baru bahwa persaudaran kemanusiaan dan kebangsaan itu masih hidup bersemayam dan menjadi modal besar yang luar biasa dalam membangun bangsa ke depan.
Dari dua pelajaran penting yang dapat diambil itu, serta latar pergulatan periode transisi demokrasi, kita sampai pada suatu pemikiran dan tekad bahwa saatnya kini kita berpadu membangun negeri. Kita niscaya membangun negeri yang hingga kini belum sepenuhnya pulih dari krisis kronis multidimensi, yang sebagian besar merupakan warisan era kepemimpinan otoriter di masa lalu, yang terwujud dalam berbagai bentuk, seperti kemiskinan massal, tingginya tingkat kesenjangan sosial, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, konflik dan pertikaian antarkomunitas warga, serta lemahnya penegakan dan kepastian hukum. Kita niscaya membangun negeri hingga menjadi sebuah negara demokratis yang makmur, adil dan beradab yang menjadikan rakyat dan bangsanya sebagai warga yang terhormat dan bermartabat di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia.
Untuk mengakhiri krisis kronis multidimensi, serta untuk membangun negeri yang demokratis, adil dan beradab, tidak ada pilihan lain kecuali kita seluruh warga bangsa untuk bersatu padu mengulurkan tangan, menganyam potensi-potensi kecil yang kita miliki agar menjadi kekuatan sinergi kolektif yang mampu mengusir prahara bangsa dan menanggulangi bencana. Kebersatupaduan berbagai unsur kekuatan masyarakat, baik dari golongan, etnis, partai politik, dan agama merupakan syarat mutlak bagi upaya pemulihan krisis multidimensi serta ikhtiar membangun negara Indonesia yang demokratis, makmur, adil, dan beradab.
Dalam konteks pemikiran di atas, maka dipandang perlu bagi GP Ansor untuk menyusun dan menetapkan POKOK-POKOK PROGRAM PENGKHIDMATAN GP ANSOR, pada masa khidmat 2005-2010 yang terkait dalam mendukung proses transisi demokrasi menuju terwujudnya konsolidasi demokrasi dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
A. Situasi Global
Saat ini dunia tengah mengalami perubahan yang sangat cepat munuju demokratisasi di berbagai bidang kehidupan, baik agama, politik, pemerintahan, ekonomi perdagangan, industri, kebudayaan, hukum, teknologi komunikasi dan informasi, dan lain-lain. Beberapa contoh yang patut dikemukakan, antara lain :
Pertama, di bidang politik telah terjadi perubahan fundamental yang ditandai dengan ambruknya ideologi komunisme, terutama di negara-negara Eropa Timur, dan dengan cepat kekuatan demokrasi semakin meningkatkan pengaruhnya di berbagai negara, termasuk negara-negara yang dulunya berpaham komunis. Dampak dari hal itu ialah kian kokohnya demokrasi sebagai sistem politik global yang dipraktekkan oleh hampir semua negara. Demokrasi dengan demikian menjadi sistem politik satu-satunya di dunia yang dianggap paling baik dan representatif karena mencerminkan kekuatan publik sebagai basis legitimasi kekuasaan politik negara. Namun sistem demokrasi yang dibawa oleh Barat, utamanya yang dipelopori oleh Amerika Serikat menimbulkan masalah ketika berhadapan dengan situasi kultural dan religius negeri-negeri Islam. Akibatnya muncul ketegangan hubungan antara Barat dengan Islam yang justru dampaknya semakin menempatkan negara-negara Islam dan kaum muslimin dalam situasi yang tertekan dan melemah, seperti yang ditunjukkan dari peristiwa invasi AS ke negara Irak beberapa waktu lalu.
Kini perubahan yang cepat dari ketegangan idieologis ini membawa pergeseran lahirnya pandangan dunia (world view) baru, masyarakat global agaknya mulai sadar untuk mau bekerjasama mewujudkan tatanan hidup yang lebih demokratis, religius, dan manusiawi dalam kebersamaan, dan kedamaian sejati tanpa sekat-sekat golongan, agama, dan etnis, bahkan negara. Justru tuntutan global sekarang yang patut kita cermati adalah kebersamaan dunia yang dibangun di atas prinsip kemanusiaan universal, seperti diperlihatkan dari terciptanya solidaritas global ketika masyarakat dunia yang tersekat-sekat ini dikejutkan oleh bencana alam Tsunami yang terjadi di Indonesia dan kawasan Asia beberapa bulan yang lalu. Karena itu satu-satunya ideologi dan sistem nilai kehidupan yang bisa dipercaya dan diharapkan dapat mempersatukan dunia demi terwujudnya tata dunia baru yang lebih adil dan manusiawi adalah humanisme universal, di mana Islam juga mengajarkan hal yang demikian.
Kedua, di bidang pemerintahan, kita mencermati semakin besarnya tuntutan masyarakat agar pemerintah di hampir semua negara tidak lagi berperan dominan dalam kehidupan masyarakat. Pemerintah hendaknya memposisikan diri secara demokratis; menempatkan dirinya sebagai fasilitator dan pendukung kerja-kerja yang dijalankan masyarakat. Pemerintah juga dituntut menjadi pelayan masyarakat (public servant) yang profesional, transparan, jujur, dan bersih (cleant government). Karena itu, pemerintahan yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan melanggar nilai-nilai demokrasi, HAM, dan berperilaku KKN akan kehilangan dukungan dan kepercayaan rakyat. Selain itu, menguatnya tuntutan agar supremasi sipil dijalankan sepenuhnya guna mengurangi peran dan dominasi militer dalam pemerintahan selama ini, juga kian dibutuhkan. Militer, dengan demikian ditempatkan sebagai alat pertahanan negara.
Ketiga, sebagai konsekuensi logis menguatnya ideologi kapitalistik liberal ke seluruh dunia, maka sistem ekonomi dan perdagangan yang berlaku juga mengarah ke sistem ekonomi pasar (market place). Berbagai dampak negatif penerapan sistem tersebut di berbagai negara, khususnya negara berkembang tidak dapat dihindari karena kian terintegrasinya perekonomian negara-negara ke dalam satu perekonomian global (global market) dalam bentuk pasar bebas dan pasar terbuka. Sudah pasti, jika tidak ditangani serius, ekonomi kerakyatan yang menjadi basis perekenomian bangsa kita akan terancam kelangsungan hidupnya.
Keempat, pengembangan industri di masa depan tampaknya mengarah ke industri berbasis teknologi, seperti industri jasa, dan teknologi informasi. Gejala ini sulit dibendung kehadirannya seiring meningkatnya kebutuhan hidup manusia agar terpenuhi dengan cepat dan mudah. Implikasi dari perkembangan ini ialah kehidupan ekonomi tradisional pedesaan yang berbasis pertanian mengalami penurunan minat, kemampuan sekaligus nilai jual. Padahal di negara-negara berkembang, perekonomiannya masih bergantung pada sektor pertanian.
Kelima, kini kita menemui perubahan dan penyebaran kebudayaan global yang demikian cepat dan meluas seiring dengan kian canggihnya teknologi komunikasi dan informasi. Karena itu tidak heran berbagai peristiwa kebudayaan dunia dalam waktu hitungan detik, dapat dinikmati melalui media TV, koran maupun jaringan internet di kantor, rumah, dan kamar tidur. Ini berarti kebudayaan global yang membawa kultur, agama, aliran politik, dan nilai-nilai Barat yang masuk menimbulkan ketegangan dengan kebudayaan lokal. Hasilnya di satu sisi nilai-nilai hidup masyarakat lokal kehilangan relevansinya. Namun di sisi lain, globalisasi budaya juga telah membawa perubahan dimana kehidupan umat manusia diikat oleh nilai-nilai yang satu dan bersifat universal dalam tata peradaban baru.
Keenam, kecenderungan diterapkannya supremasi hukum dalam sistem demokrasi yang menjadi kebutuhan masyarakat dunia. Demokrasi yang mendesakkan pengaruhnya di berbagai negara dapat berjalan tidak terkendali dan menimbulkan anarkhi jika tidak diikuti oleh tuntutan untuk menegakkan hukum dan aturan dalam berdemokrasi. Selain itu, posisi hukum Islam yang masih belum terintegrasikan secara total dengan hukum nasional akibat masih adanya ketegangan politik dan pertentangan persepsi di masing-masing kelompok masyarakat mengenai status syari’at (hukum) Islam dalam konteks negara kebangsaan, patut juga dicermati.
Ketujuh, menyebarnya isu gender secara global yang mulai mengubah paradigma relasi laki-laki dan perempuan ke arah kesetaraan dan demokrasi. Berbagai sikap, kebijakan, tradisi, dan budaya bangsa-bangsa di dunia dewasa ini yang masih dominan berbudaya patriarki dan bias gender mulai dibongkar. Laki-laki yang selama ini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berkembang dan maju dibanding kaum perempuan mulai digugat, karena hal itu menimbulkan ketidakadilan dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengajarkan persamaan hidup sesama manusia.
B. Situasi Nasional
Era reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto telah menghasilkan kepemimpinan nasional yang relatif demokratis. Dengan terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI dalam Sidang Umum MPR 1999 yang lalu, telah menandai era rofarmasi sedang dijalankan dengan penuh harapan dan optimisme. Sidang Umum 1999 itu sendiri merupakan perwujudan dari semangat menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam Pemilu 1999 yang berlangsung jujur dan terbuka untuk pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia pasca Orde Baru.
Pemerintahan baru ini memperoleh tugas merealisasikan harapan-harapan masyarakat yang berisi antara lain, terbentuknya pemerintahan yang bersih, terbangunnya sistem politik yang demokratis, kuatnya lembaga legislatif, berwibawanya lembaga yudikatif, terwujudnya supremasi sipil, hokum, dan HAM, berjalannya roda ekonomi yang berbasis kerakyatan, hilangnya budaya KKN, baik di pemerintahan maupun masyarakat, dan berkembangnya kesadaran berbangsa dan bernegara untuk mengukuhkan ikatan persatuan antarwarga masyrakat.
Tugas dan harapan itu ternyata tidak mudah, disebabkan masih kuatnya ikatan budaya lama yang tidak demokratis dan penuh KKN. Disamping adanya proses konsolidasi internal pemerintah, baik di tingkat pusat maupun bawah (kelurahan dan desa) yangmasih lemah. Akibatnya lebih jauh, di tengah masa transisi demokrasi seperti ini, usia pemerintahan Gus Dur dan Megawati tidak berlangsung lama, terlebih setelah muncul konflik politik antara Presiden dengan MPR. Akhirnya melalui Sidang Istimewa MPR yang dramatis, KH. Abdurrahman Wahid dilengserkan secara menyedihkan. Beliau digantikan oleh Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Namun duet Mega-Hamzah juga tidak berlangsung lama, pemerintahannya hanya berlangsung tiga tahun. Dalam Pemilu Presiden 2004, Megawati gagal mempertahankan kursi kepresidenannya. Kegagalan ini ditandai dengan anjloknya suara PDIP dalam Pemilu 2004 sejalan dengan kian memudarnya citra Presiden Megawati Soekarnoputri di mata publik. Akibatnya dalam Pemilu 2004, Soesilo Bambang Yudoyono dan Muhammad Jusuf Kalla (SBY-MJK) terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2004-2009.
Harapan-harapan agar reformasi berjalan tuntas yang diamanatkan dari segenap rakyat kepada SBY-MJK sangat besar. Kini agaknya pemerintahan SBY-MJK sedang bekerja keras memenuhi harapan publik Indonesia itu di tengah upaya melakukan konsolidasi demokrasi. Namun demikian, bukan berarti pemerintahan SBY-MJK dapat melaksanakan agenda reformasi dengan mudah dan lancar. Justru kendala struktural dan kultural pemerintahan kita yang membuat langkah-langkah yang ditempuh oleh Presiden SBY menghadapi tantangan yang berat.
Selain Presiden SBY saat ini banyak menghadapi masalah KKN dan penegakan hukum yang ditinggalkan pendahulunya, justru di masa awal pemerintahannya seratus hari, musibah demi musibah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Gempa bumi di Nabire Papua, Alor NTT, Palu, Sulawesi Selatan, dan terakhir di Aceh yang menewaskan puluhan ribu penduduk, dan bencana banjir yang meluas di berbagai daerah telah mengakibatkan pemerintahan SBY-MJK berjalan dengan banyak cobaan dan hambatan.
C. Kondisi Lokal
Kondisi Indonesia yang ditegakkan di atas keragaman lokal yang hidup di daerah-daerah, menyebabkan Indonesia dipandang sebagai negara yang paling plural di dunia. Keragaman lokal ini tentu menghasilkan budaya, nilai-nilai dan cara hidup yang lokal pula. Akibatnya antara masing-masing daerah timbul perbedaan budaya, cara hidup, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat daerahnya masing-masing. Sudah pasti ini menimbulkan masalah tersendiri bagi upaya pencapaian integrasi nasional. Selain itu ancaman globalisasi dunia yang masuk dengan membawa budaya, nilai-nilai dan cara hidup baru yang kini tengah berlangsung juga dikuatirkan akan mengancam keragaman lokal daerah. Lebih jauh hal ini dapat mengakibatkan kepunahan nilai-nilai kearifan tradisional (local indeginous) yang terpelihara sekian lama di daerah-daerah. Sudah pasti antara situasi global dan lokal ini menimbulkan ketegangan hubungan kalau tidak diantisipasi dan dicermati sejak dini. Sebab menyangkut bagaimana eksistensi multikulturalisme yang dituntut dalam kehidupan masyarakat sekarang dapat hidup eksis bahkan pro ekistensi, utamanya bagaimana kita bisa menjembatani antara nilai-nilai tradisional yang terancam kepunahan, dengan nilai-nilai modernitas dan posmodernitas yang mendesakkan pengaruhnya seiring dengan kemajuan ilmu pengtahuan dan teknologi yang kian menggila.
D. Kondisi Nahdlatul Ulama
Bagi NU, kenangan era pemerintahan KH. Abdurahman Wahid membawa perubahan ke babak baru dalam kehidupannya sebagai ormas keagamaan. Hal itu disebabkan kepemimpinan nasional dipegang oleh salah satu tokoh terkemuka NU, yaitu KH. Abdurrahman Wahid yang sempat terpilih menjadi Presiden RI ke-4. Dampak dari perubahan itu adalah NU memperoleh ruang gerak yang lebih leluasa dan mendapat dukungan politik dalam melaksanakan program kerjanya. Suatu situasi yang baru terjadi setelah di masa pemerintahan Orde Baru, NU seringkali diperlakukan diskriminatif. Hanya saja dengan penetapan kembali ke khittah NU 1926 pada Muktamar 1984, di masa kepemimpinan Presien KH Abdurrhman Wahid ini, keberadaan NU mendapat ujian berat.
Karena itu dalam konteks demikian, NU sebagai jam’iyyah maupun jama’ah dituntut mampu memposisikan diri secara bijak. Artinya bagaimana NU dapat berpartisipasi positif terhadap kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid saat itu sekaligus tidak kehilangan sikap kritis dalam menyikapi berbagai kebijakan dan langkah pemerintah yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. Ini berarti keterlibatan politik praktis NU yang tidak sesuai Khittah 1926, dapat dihindari dengan fokus perjuangan ke nilai-nilai dan etika politik, seperti penegakan hukum, demokrasi, dan HAM. Jadi ini berarti NU tidak terjebak dalam kepentingan kekuasaan politik jangka pendek yang justru terbukti merugikan dirinya.
Akan tetapi pasca kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid yang berakhir tragis itu, khittah NU pun mendapat ujian berat lagi, tepatnya setelah beberapa bulan yang lalu jami’yah diniyah ini juga terkesan terlibat politik lewat pencalonan Ketua Umumnya KH. Hasyim Muzadi sebagai Wakil Presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri, sekalipun pada akhirnya gagal menuai hasil dalam Pemilu 2004 yang lalu. Kini, NU berada dalam posisi sulit karena dilanda krisis kepercayaan tidak hanya dimata kaum nahdliyyin yang sebagian besar justru tidak memilih pimpinannya untuk menjadi wakil presiden, tetapi juga di luar kaum nahdliyyin, yakni publik Indonesia yang sebelumnya begitu respek terhadap NU.
Memang semula, jauh hari sebelum pemilihan presiden dan wakil presiden, NU menjadi satu-satunya organisasi non politik yang diincar banyak partai. Ibarat gadis cantik pingitan yang jadi rebutan banyak orang, dan akhirnya NU kepincut dan jebol juga. Dari mulai partai Golkar yang terus menerus melakukan pendekatan pribadi dan institusi dengan Ketua Umum PBNU itu, untuk dipasangkan dengan capres Wiranto yang berakhir dengan kekecewaan mendalam, sampai ke PDIP melalui keberhasilan lobi-lobi politik intens yang dilakukan oleh Taufik Kiemas Cs ke jajaran pimpinan PBNU dan sejumlah kiai lokal di daerah, walaupun kemudian upaya politik itu juga berakhir dengan kekecewaan, bahkan kegagalan.
Kini, setelah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dalam momentum Muktamar 2004 di Solo yang baru lalu, NU terus memperingatkan dirinya dengan berusaha meneguhkan kembali eksistensinya sebagai organisasi keagamaan (jam’iyah diniyah) seperti yang termaktub dalam kesepakatan (ittifaq) Khittah 1926. Peneguhan itu ditandai dengan lahirnya kontrak jam’iyyah (kontrak sosial) bagi pengurus PBNU yang baru agar tidak terlibat politik praktis. Tidak hanya itu, dalam forum muktamar tersebut, arah gerakan organisasi keagamaan ini mulai dikonkretkan, terutama upaya untuk mengatasi problem-problem keumatan kontemporer, seperti masalah kemiskinan umat, pendidikan, demokrasi dan civil society,  dampak perkembangan sains dan teknologi, dan masalah kemerosotan moral (akhlak) di negeri ini.
Namun dalam Muktamar NU ke-XXXI yang berlangsung dengan dinamikanya yang tidak terkendali itu, ternyata telah meninggalkan dua persoalan krusial, yaitu pertama, bagaimana mengatasi konflik NU pasca muktamar yang ditengarai bakal menciptakan NU “kembarâ€. Kedua, bagaimana pula memaknai secara politik, kontrak jami’yah NU yang telah dikeluarkan oleh Rais ‘Am untuk Ketua Umum PBNU terpilih tersebut.
Kini, setelah muktamar memenangkan kubu Hasyim Muzadi secara demokratis dengan perbandingan suara 364:95, ancaman konflik itu telah membuat NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia berada dalam kegalauan. Kedua kubu yang sebelumnya bersedia bersaing dengan cara-cara modern melalui mekanisme demokrasi, kembali menunjukkan ciri hidup ketradisonalannya yang mudah terpecah belah. Kubu Gus Dur yang dikenal sebagai pejuang demokrasi pun tidak menerima hasil keputusan muktamar yang dinilai cacat itu. Tentu implikasinya, kini eksistensi NU sebagai organisasi yang tengah bertransisi menjadi modern, dalam arti mulai terbuka dengan nilai-nilai modernitas, seperti dalam hal rasionalisasi keputusan institusi, birokrasi struktur, dan penerapan mekanisme demokrasi dalam pengambilan keputusan organisasi, berada di persimpangan dan cobaan.
Tarik menarik antara nilai-nilai baru yang diterima dengan kearifan lama yang bersumber dari nilai-nilai tradisional, akan membawa NU berada dalam ketegangan organisasi, seperti yang diperlihatkan dari ancaman perpecahan tersebut. Kekuatan nilai-nilai tradisional yang ditunjukkan dari ketinggian kharisma dan ekstra-otoritas yang dimiliki oleh KH. Abdurrahman Wahid, agaknya akan menyulitkan Ketua Umum terpilih untuk mengatasi konflik itu. Padahal ia secara struktur-organisasi mempunyai otoritas untuk menyelesaikannya. Karena itu, ketegangan transisional organisasi ini sebaiknya dikembalikan ke tradisi kultural NU sendiri yang menempatkan ulama sebagai kunci utama dalam memecahkan setiap persoalan yang dihadapi tanpa meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi yang konstitutif. Ini berarti GP Ansor sebagai anak kandung NU juga diharapkan dapat mengambil perannya dalam mengatasi konflik pasca muktamar di Solo tersebut tanpa mengabaikan eksistensi ulama dan prinsip-prinsip demokrasi.
E. Kondisi GP Ansor
Sebagaimana organisasi kepemudaan yang menjadi bagian dari elemen masyarakat Indonesia, GP Ansor tidak lepas dari pengaruh berbagai perkembangan nasional maupun internasional. Pada paruh awal kepemimpinan alm. Drh. Muhammad Iqbal Assegaf, GP Ansor hidup di bawah era pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistik, otoriter dan tertutup. Hal ini berpengaruh terhadap kinerja GP Ansor dimana ruang gerak organisasi dibatasi. Namun di tengah situasi demikian, GP Ansor tetap berikhtiar menjalankan berbagai program kerjanya.
Berbagai kekurangan di tubuh GP Ansor sendiri membawa pengaruh yang tidak kecil pada waktu itu. GP Ansor yang berbasis di pedesaaan jelas mempunyai warga dan simpatisan yang cukup banyak, namun jauh dari SDM yang diharapkan. Mereka pada umumnya berpendidikan rendah atau menengah (SD, SLTP, dan SMU), dan tidak mempunyai ketrampilan memadai baik untuk menunjang pelaksanaan program organisasi maupun untuk memenuhi hajat hidupnya sendiri.
Namun di bawah kepemimpinan Drs. H. Saefullah Yusuf, kita mengetahui kualitas SDM tingkat pimpinan cabang, wilayah dan pusat semakin memadai. Bahkan sebagian besar jajaran pimpinan memiliki gelar akedemik S-1, S-2 dan beberapa S-3. Kehadiran mereka membawa berbagai kemajuan, baik di tingkat pemikiran maupun pelaksanaan program kerja. Hanya usaha potensi yang cukup baik itu belum dapat dioptimalkan oleh GP Ansor. Hal itu selain disebabkan masih kurangnya upaya-upaya peningkatan dalam memberdayakan SDM, juga kondisi GP Ansor saat itu yang berada dalam situasi dilematis dan sulit di tengah masa transisi demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat mutamaddun (civil society) bagi terwujudnya konsolidasi demokrasi, GP Ansor juga meneguhkan dirinya sebagai salah satu komponen masyarakat muhtamaddin. Posisi ini memberi makna bahwa GP Ansor harus aktif melibatkan diri dalam berbagai agenda konkret pemberdayaan masyarakat di tingkat bawah (grass root), berikhtiar menegakkan kedaulatan rakyat, dan melakukan pengawasan yang kritis dan konstruktif terhadap kebijakan pemerintah.
Keberadaan Banser sebagai kader inti yang menjadi bagian integral GP Ansor sudah mulai melakukan perubahan internal. Dengan SDM Banser yang terbatas, perubahan paradigma Banser yang sebelumnya berorientasi militeristik telah ditinjau-ulang karena tidak sejalan lagi dengan semangat zaman. Kini Banser tidak hanya ditempatkan sebagai kekuatan paramiliter dan penjaga keamanaan, akan tatapi Banser telah memiliki paradigma baru yang berorientasi pada semangat civil society yang juga diprogramkan GP Ansor. Ini berarti Banser ke depan ditempatkan menjadi sayap kekuatan GP Ansor yang berorientasi pada kerja-kerja kemanusiaan yang konkret, peduli, dan ramah. Kekuatan Banser hendaknya senantiasa menjadi alat kepanjangan GP Ansor untuk menolong dan bertindak demi kemanusiaan, khususnya bagi warga NU, umat Islam, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ini berarti Banser tidak hanya bertugas mengamankan situasi dan kondisi, serta lingkungan dimana kekuatan Banser berada. Akan tetapi Banser paling tidak dapat menjadi kekuatan semacam Satkorlak atau Tim SAR yang bertugas untuk menyelamatkan masyarakat dari penderitaan hidupnya, baik penderitan akibat bencana alam yang sering terjadi, maupun penderitaan sosial dan ekonomi. Pelatihan-pelatihan ketrampilan menjadi prioritas Banser, sehingga dengan demikian paradigmanya terus bergeser ke arah pemberdayaan masyarakat sipil yang berorientasi kemanusiaan dan profesionalisme.
Dalam pada itu, problem kepemudaan yang umumnya terjadi di Indonesia ternyata juga menimpa di hampir semua negara di dunia. Masalah-masalah partisipasi politik pemuda, pergaulan dan seks bebas, tingkat pendidikan, narkoba, dan pengangguran menjadi masalah krusial pemuda yang diaktualkan oleh publik dan berbagai media, sehingga sangat mendesak untuk dipecahkan. Sebagai contoh, seiring dengan kian menguatnya demokrasi dan penegakan supremasi sipil, sudah pasti partisipasi politik pemuda diharapkan dapat diberdayakan sebagai upaya mewujudkan konsolidasi demokrasi. GP Ansor sebagai ormas kepemudaan yang berbasis pemuda Islam justru ditantang untuk memberdayakan pemuda lewat kegiatan peningkatan kesadaran dan patisipasi politik pemuda, terutama mereka yang tinggal di desa-desa. Melalui kegiatan pelatihan-pelatihan, halaqah, dan advokasi, diharapkan GP Ansor juga mengambil peran aktif untuk memberdayakan partisipasi politik mereka. Terlebih lagi di tengah lahirnya Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, sudah pasti GP Ansor memiliki peluang dan tantangan besar untuk terlibat aktif di dalamnya. Bisa jadi hal itu dapat dilakukan lewat pemberdayaan dan partisipasi politik pemuda dengan aksi-aksi pengembangan dan penguatan civil society dan konsolidasi demokrasi di tingkat pemuda-pemuda desa.
Akan tetapi kondisi internal warga dan kader GP Ansor masih jauh dari yang diharapkan. Ketidaksiapan SDM GP Ansor yang rata-rata berlatar belakang pendidikan rendah dengan status sosial-ekonomi yang tidak memadahi akan menyebabkan penyadaran partisipasi politik pemuda ini menghadapi banyak kendala internal yang melingkupinya. Untuk itu peningkatan SDM kader merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk memperkuat partisipasi politik pemuda, terutama yang berbasis di desa-desa dan pesantren.
BAB III
LANDASANÂ DAN ASAS PROGRAM
A. Landasan Program
Dalam menjalankan pengkhidmatan organisasi, GP Ansor mempunyai landasan yang mensintesakan antara ciri keislaman dan keindonesiaan, yaitu :
1. Landasan Aqidah                  : Islam Ahlussunnah Wal Jamaah
2. Landasan kenegaraan          :Â
a. Pancasila
b. UUD 1945 & Amandemen UUD 1945Â Â Â
3. Landasan Keorganisasian       :  Â
a. Khittah Nahdlatul Ulama 1926
b. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-31 di Solo Tahun 2004
c. Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga GP Ansor  Â
d. Keputusan Konggres XII GP Ansor di Solo Tahun 2000
Landasan Program tersebut kemudian diwujudkan dalam Dasar-Dasar Paham Keagamaan, Sikap Kebangsaan dan Kenegaraan, dan Kemasyarakatan.
A.1. Dasar-Dasar Keagamaan
1. Mendasarkan paham keagamaan kepada sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas.
2. Berikhtiar memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan mengikuti salah satu manhaj Ahlussunnah wal Jammah, yakni mazhab Syafii, Hanbali, Maliki, dan Hanafi.
3. Meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang seusai dengan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, HAM, dan menjadi rahmat bagi semua makhluk, (rahmatan lil alamin), yang sifatnya menyempurnakan segala apa yang telah dimiliki umat manusia serta terus berikhtiar merumuskan hal-hal baru yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas peradaban, hidup, dan martabat umat manusia.
A.2. Sikap Kebangsaan dan Kenegaraan
1. Kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi konsekuensi logis bagi terwujudnya cita-cita kehidupan Indonesia yang konstitusional dan demokratis.
2. Dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara ditempuh ikhtiar-ikhtiar kolektif hasil permusyawaratan dan kesepakatan segenap elemen bangsa yang mencerminkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, kemashlahatan, kejujuran, solidaritas, dan tenggang rasa, serta berlandaskan konstitusi, hukum, dan perundang-undangan.
3. Kehidupan berbangsa dan bernegara mencerminkan sebuah upaya mengakomodasi, melindungi, dan memperjuangkan aspirasi dan HAM kelompok-kelompok masyarakat dalam tatanan kehidupan yang sinergis dan harmonis.
A.3. Sikap Kemasyarakatan
1. Sikap Tawasuth
Prinsip hidup untuk bersikap dan berlaku adil dan lurus dalam menjalankan tugas; kewajiban dan tanggung jawab baik pribadi maupun warga negara.
2. Sikap Tasamuh
Mampu bersikap toleran terhadap munculnya perbedaan pandangan baik dalam pemahaman ajaran agama yang bersifat furu’iyah maupun khilafiah dalam masalah kemasyarakatan dan kebangsaan.
3. Sikap Tawazun
Sikap untuk simbang dalam menjalankan pengabdian. Di mana harus mampu menyeimbangkan pengkhidmatan kepada Allah Swt., kepada sesama umat manusia, dan alam semesta. Demikian pula harus mampu menjalin pengalaman masa lalu, keadaan masa kini, dan harapan di masa mendatang.
4. Sikap I’tidal
Mampu mengambil sikap moderat dalam merumuskan pemikiran, dan perbuatan. Sikap ini menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat ekstrim dan destruktif dari sebuah kutub pendapat, pemikiran, dan perbuatan.
5. Sikap Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Sikap berani menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menolak kebatilan dengan cara-cara yang penuh hikmah, istiqomah, dan berdasarkan hukum.
B. Asas Program
1. Asas Manfaat
Segala hasil pelaksanaan program harus dapat dimanfaatkan oleh warga dan masyarakat sekaligus mampu meningkatkan kemajuan dan kualitas hidup warga dan masyarakat.
2. Asas Kemandirian
Berbagai program yang dijalankan hendaknya dapat membentuk kemandirian baik di tingkat perseorangan, warga, kelompok, organisasi, maupun masyarakat.
3. Asas kemitraan
Sebagian pelaksanaan program kerja hendaknya mampu membangun kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan departemen/instansi pemerintah, kalangan dunia usaha, ormas, maupun LSM, selama tidak ada ikatan maupun persyaratan yang merugikan organisasi. Hal ini untuk meringankan sekaligus melancarkan pelaksanaan program kerja tersebut.
4. Asas Kepeloporan
Sebagai ormas kepemudaan, hendaknya berbagai program kerja yang dijalankan mencerminkan ciri kepeloporan. Dalam asas ini kuatnya inovasi, kreasi, dan perintisan program dinilai sangat penting.
BAB IV
FUNGSI DAN TUJUAN PROGRAM
A. Fungsi Program
Sebagai pedoman, petunjuk, panduan, dan pemberi arah bagi GP Ansor di setiap jenjang kepengurusan dalam menetapkan kebijakan dan program kerja untuk melaksanakan amanat Kongges secara sistematis dan terpadu.
B. Tujuan Program
a. Terwujudnya tujuan GP Ansor sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar GP Ansor
b. Memantapkan proses kaderisasi, regenerasi kepemimpinan, dan struktur organisasi, serta perangkatnya.
c. Meningkatkan partisipasi GP Ansor dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi dan penegakan HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
d. Mengintegrasikan GP Ansor sebagai ormas kepemudaan bekerjasama dengan komponen bangsa lainnya dalam mengatasi berbagai masalah nasional.
BAB V
ARAH DAN STRATEGI PENCAPAIAN PROGRAM
A. Arah Program
1. Peningkatan kualitas wawasan, sikap mental, dan pemahaman kader dan warga GP Ansor sebagai makhluk, warga masyarakat, warga-bangsa, dan warga negara, serta warga-masyarakat dunia.
2. Pemantapan keberadaan dan partisipasi GP Ansor sebagai salah satu komponen bangsa dalam menunaikan tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya dalam rangka mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
3. Peneguhan pemahaman, pengetahuan, dan ketrampilan kader dan warga GP Ansor dalam menjalankan organisasi untuk diabdikan bagi kemajuan masyarakat dan bangsa.
4. Perluasan kemandirian organisasi, kader, dan warga GP Ansor di bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan lain-lain, sehingga menjadi bagian masyarakat mutamaddin (civil society) yang mampunyai kemampuan aktif untuk mendorong proses konsolidasi demokrasi dan penegakan HAM dalam segenap aspek kehidupan berbangsa sekaligus berperan konstruktif dan kritis terhadap berbagai kebijakan negara.
B. Strategi Pencapaian Program
1. Sistematis
Program GP Ansor merupakan bagian dari konsep pengkhidmatan organisasi yang dirumuskan dalam bentuk susunan, metode, dan rincian yang mencerminkan pemikiran komprehensif dan berurutan.
2. Berkesinambungan
Berbagai program GP Ansor mempunyai dimensi yang berkelanjutan (sustainibilily), sehingga dijalankan secara terus menerus dan saling berkaitan.
3. Dinamis
Program GP Ansor yang akan dilaksanakan memiliki tingkat kepekaan yang tinggi akan perubahan internal dan eksternal, sehingga dapat dilaksanakan fleksibel, sesuai dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
4. Akomodatif
Perumusan dan pelaksanaan program GP Ansor merupakan hasil dari kristalisasi beragam aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan warga GP Ansor khususnya, dan masyarakat umumnya.
5. Terpadu dan Terarah
Perumusan dan pelaksanaan program GP Ansor merupakan kesatupaduan yang diarahkan demi terwujudnya tujuan GP Ansor sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar GP Ansor.
6. Simpel dan Realistik
Perumusan dan pelaksanaan program GP Ansor ditetapkan sesederhana mungkin dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi di mana program itu dijalankan, serta melihat kemampuan yang dimiliki GP Ansor.
BAB VI
WAWASAN PENGKHIDMATAN
1. Wawasan Keislaman
Dalam menjalankan pengkhidmatannya, GP Ansor senantiasa tidak melepaskan diri dari keberadaannya sebagai makhluk Allah SWT. yang bertugas mengabdi dan beribadah kepada-Nya.
Karena itu berbagai sikap, kebijakan, dan kegiatan GP Ansor diniatkan sebagai ibadah, dilakukan seusai aqidah, syari’ah, dan akhlaqul karimah guna mencapai keridhaan Allah SWT.
2. Wawasan Kebangsaan
Pengkhidmatan GP Ansor senantiasa berupaya memperteguh dan memperkokoh semangat dan jiwa kebangsaan, sebagai anak bangsa yang lahir dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai kemajemukan asal usul dan latar belakang sosial.
3. Wawasan Kepemudaan
GP Ansor dalam manjalankan pengkhidmatannya senantiasa menyadari jati dirinya sebagai pemuda Indonesia yang harus bersikap kreatif, dinamis, inovatif, dan kritis, serta siap memelopori berbagai agenda perubahan dan berani mengarahkan masa depan bangsa selama tidak melanggar ketentuan hukum, etika, dan moralitas.
4. Wawasan Kepemimpinan
Pengkhidmatan GP Ansor tidak lepas dan ikhtiar kolektif untuk membentuk dan meningkatkan jiwa, semangat, dan kemampuan warga masyarakat dalam rangka menjadi pemimpin bagi dirinya, keluarga, dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian warga masyarakat mempunyai peluang untuk berperan aktif dalam proses penetapan berbagai kebijakan publik yang langsung menyangkut kepentingan dan hajat hidup masyarakat.
5. Wawasan Kesejahteraan
GP Ansor dalam pengkhidmatannya berusaha meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat baik dalam bentuk usaha kecil, menengah maupun koperasi. Hal itu dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan kesempatan berusaha, ikut serta mengelola sumberdaya ekonomi dan aset nasional demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi segenap warga masyarakat.
6. Wawasan Keterbukaan
Dalam menunaikan pengkhidmatan GP Ansor membuka diri untuk menjalin hubungan baik dan bekerjasama dengan berbagai komponen bangsa tanpa memandang perbedaan golongan, agama, ras, dan suku. Langkah itu merupakan kesadaran GP Ansor yang hidup dalam wadah bangsa Indonesia yang majemuk dan berbhineka.
BAB VII
PROGRAM JANGKA PANJANG GP ANSOR
A. Tujuan Umum
Terwujudnya kader dan warga GP Ansor yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir-batin sebagai bagian dari jami’yyah Nahdlatul Ulama yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Sasaran Umum
Terciptanya kualitas kader dan warga GP Ansor yang maju dan mandiri dalam suasana tentram dan sejahtera lahir-batin dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa, dan bernegara, serta selaras dalam hubungan antara sesama makhluk, dengan alam, dan lingkungan, serta dengan Sang Khalik.Â
BAB VIII
POKOK-POKOK PROGRAM PENGKHIDMATAN
GP ANSOR MASA KHIDMAT 2005-2010
Untuk mencapai tujuan berdirinya GP Ansor sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar GP Ansor, disusunlah Pokok-Pokok Program Pengkhidmatan GP Ansor masa khidmat 2005-2010. Pokok-pokok program ini dituntut untuk dijabarkan dan dijalankan dalam bentuk program dan kegiatan konkret oleh seluruh jajaran kepemimpinan GP Ansor. Untuk memudahkan pemahaman, maka pokok-pokok program itu disebut “Sapta Khidmah†atau tujuh pengkhidmatan yang berarti tujuh pengabdian.
“Sapta Khidmah†yang dimaksud tersebut adalah :
(1) Peningkatan pelaksanaan kesadaran dan tanggung jawab berwarganegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(2) Pengembangan partisipasi aktif untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi dan pelaksanaan otonomi daerah;
(3) Peneguhan pelaksanaan Khittah NU 1926 secara utuh, konsisten, dan konsekuen;
(4) Pemberdayaan sumberdaya manusia di bidang agama, ideologi, politik, ekonomi, iptek, sosial budaya, hukum, seni, dan olahraga
(5) Penguatan dan pengembangan institusi serta peningkatan kualitas organisasi dan kader.
(6) Pengembangan paham Ahlussunnah Wal Jamaah yang sesuai dengan perubahan zaman dan peradaban umat manusia;
(7) Perintisan pembentukan jaringan kerjasama dan pelaksanaan program kerjasama dengan badan-badan internasional PBB, ormas-ormas, dan LSM dalam negeri dan luar negeri.
“Sapta Khidmah†harus dioperasionalkan melalui karya nyata selama lima tahun mendatang yang penjabarannya mencakup program-program pengkhidmatan sebagai berikut :
1. Peningkatan kesadaran dan tanggungjawab berwarganegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
1.a. Target Program
Terbentuknya kader dan warga GP Ansor yang terus menerus meningkatkan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, serta menjaga persatuan dan kesatuan, mengukuhkan ikatan solidaritas dan persamaan nasib antarkelompok masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.b. Bentuk-bentuk Program
1. Mengambil inisiatif dan berpartisipasi aktif dalam mengorganisir kelompok-kelompok masyarakat untuk menjaga keutuhan wilayah dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta kesiapan mengantisipasi berbagai ancaman gerakan desintegrasi bangsa, terrorisme dan separatisme.
2. Mengembangkan pemikiran alternatif dan kreatif yang sifatnya memperkaya dan menyempurnakan dalam kerangka ikhtiar menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, serta membendung masuk dan berkembangnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, ajaran agama, dan demokrasi.
3. Berperan serta dalam menciptakan rekonsiliasi sosial antarwarga dan kelompok masyarakat maupun peneguhan ikatan kebangsaan antarkelompok masyarakat.
4. Ikut aktif menjalankan penggilan negara demi melindungi dan mempertahankan  keutuhan negara dan bangsa dari serangan, infiltrasi dan subversi pihak-pihak asing yang berusaha menggoyahkan kedaulatan Negara Kesatuan Repulik Indonesia, bersama-sama TNI dan komponen bangsa lain.
5. Meningkatkan wawasan dan kesadaran kader dan warga GP Ansor akan hak dan kewajiban serta tanggungjawabnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6. Secara aktif memberikan bantuan dan dukungan dalam ikhtiar menyelesaikan berbagai problem yang dialami masyarakat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengembangan partisipasi aktif untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi dan pelaksanaan otonomi daerah
2.a. Target Program
Terwujudnya kader dan warga GP Ansor yang memiliki kualitas, kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi dan pengembangan otonomi daerah bersama-sama komponen penggerak dan pelaksana pembangunan lainnya di daerah.
2.b. Bentuk-bentuk program
1. Meningkatkan kemampuan, wawasan pengetahuan, dan keterampilan kader dan warga GP Ansor dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi dan pengembangan otonomi daerah;
2. Menjalin hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi dan pelaksanaan otonomi daerah sehingga terbuka akses dan peluang serta terlibat aktif dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi dan pengembangan otonomi daerah;
3. Melakukan pengkajian bidang-bidang pembangunan yang dipandang perlu dan tepat dalam pelaksanaan otonomi daerah dan menjadi prioritas keterlibatan kader dan warga GP Ansor sesuai kemampuan dan kebutuhan;
4. Melakukan kajian-kajian tentang kebijakan dan memberikan pengawasan kritis terhadap jalannya otonomi daerah secara utuh dan menyeluruh agar sesuai dengan demokrasi, HAM, amanat reformasi dan sungguh-sungguh demi kesejahteraan masyarakat daerah;
3. Peneguhan pelaksanaan Khittah NU 1926 secara utuh, konsisten dan konsekuen
3.a. Target Program
Meningkatnya pemahaman dan pelaksanaan Khittah NU 1926 di kalangan kader dan warga GP Ansor secara utuh, konsisten, dan konsekuen di tengah perubahan zaman, situasi politik, dan sosial budaya.
3.b. Bentuk-bentuk program
1. Peningkatkan penguasaan isi dan makna Khittah NU 1926 secara utuh dan menyeluruh di kalangan kader dan warga GP Ansor.
2. Pengkajian atas pelaksanaan dan pengembangan makna Khittah NU 1926 dan alternatif pelaksanaannya.
3. Meningkatkan pelaksanaan transformasi ideologi, politik, ekonomi, iptek, dan budaya ke arah pemberdayaan ideologi, ekonomi, dan politik yang sehat dan jujur, penguasaan iptek, dan pengembangan budaya yang maju, etis, dan bermartabat.
4. Berperan aktif mensosialisasikan dan menginternalisasikan wawasan, sikap, dan budaya politik yang dewasa, matang, dan arif, serta berdasarkan hati nurani yang luhur dan akal sehat di lingkungan warga GP Ansor maupun NU sekaligus mampu menjaga keutuhan persahabatan dan persaudaraan antarkader dan warga yang berbeda visi politiknya.
4. Pemberdayaan sumber daya manusia di bidang ideologi, ekonomi, politik, iptek, sosial budaya, hukum, seni, dan olahraga
4.a. Target program
Terwujudnya sumber daya manusia khususnya kader dan warga GP Ansor yang memiliki keberdayaan di bidang ideologi, ekonomi, politik, iptek, sosial budaya, hukum, seni dan olahraga sehingga menjadi subyek dalam pengertian pelaku, penggerak, dan pelaksana sekaligus dapat menikmati hasil dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik, iptek, sosial budaya, hukum, seni dan olahraga untuk ikut berperan aktif memajukan kehidupan masyarakat dan bangsa.
4.b. Bentuk-bentuk program
1. Peningkatan kegiatan pendidikan dan pelatihan di bidang ekonomi bagi kader dan warga GP Ansor terutama di bidang manajemen usaha, permodalan, produksi, keuangan, dan pemasaran produk;
2. Pengembangan jiwa dan semangat kewirausahaan dan bisnis bagi kader dan warga GP Ansor;
3. Perlu adanya jaringan kerja, peningkatan kinerja serta gerak langkah koperasi usaha Inkowina bagi warga GP Ansor hingga ke daerah-daerah;
4. Mendukung dan membantu ikhtiar lembaga-lembaga ekonomi produktif milik kader dan warga GP Ansor untuk mendapatkan fasilitas, terutama perizinan, kredit usaha, informasi dan akses pasar, baik domestik maupun luar negeri;
5. Meningkatkan jaringan kerjasama antara lembaga-lembaga ekonomi produktif milik kader dan warga negara serta GP Ansor dengan kalangan dunia usaha, baik milik negara maupun swasta;
6. Meningkatkan kegiatan pendidikan dan pelatihan yang memperkuat pemahaman dan ketrampilan bagi kader dan warga GP Ansor yang terjun menekuni dunia politik agar menjadi politisi ber-akhlaqul karimah, bermoral, berintegritas, dan teguh dalam melaksanakan konstitusi, memperjuangkan amanat, dan aspirasi rakyat, serta memenuhi kualifikasi sebagai pemimpin politik di wadah politiknya masing-masing;
7. Membangun jaringan silaturrahmi, kesepahaman, saling menghormati perbedaan sikap dan pandangan politik, serta kemungkinan kerjasama strategis antarpolitisi muda dan kalangan GP Ansor yang berasal dari berbagai partai politik;
8. Meningkatkan penguasaan atas berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi serta ikut merintis teknologi tepat guna dan padat karya untuk pembangunan berwawasan lingkungan bagi masyarakat pedesaan;
9. Berpartisipasi mengembangkan kebudayaan lokal, regional, dan nasional yang berkarakter demokratis, beradab, etis, dan bermoral dengan menyaring masuknya kebudayaan asing agar sesuai dengan keluhuran hidup masyarakat dan kemaslahatan bangsa dan Negara;
10. Peningkatkan dan penyadaran hukum bagi warga GP Ansor dan mendorong tegaknya supremasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia;
11. Berpartisipasi aktif dalam meningkatkan mutu berkesenian dan pemasyarakatan berolahraga untuk tujuan memperkuat kepribadian nasional.
5. Penguatan dan pengembangan serta peningkatan kualitas dan kinerja organisasi dan kader
5.a. Target program
Terwujudnya organisasi GP Ansor yang modern, profesional, solid, dan memiliki kinerja unggul yang dapat diandalkan untuk menjalankan tugasnya mencapai cita-cita GP Ansor, serta mendukung pencapaian cita-cita berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia serta memiliki kader yang beriman, berilmu, dan bertaqwa, serta menguasai iptek dan ketrampilan dalam menunaikan tugas-tugas kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan keorganisasian.
5.b. Bentuk-bentuk program
1. Pemantapan filosofi, konsep, struktur, kepemimpinan, pengkaderan, tata kerja, dan mekanisme organisasi secara sistematis dan rasional dengan menerapkan sistem manajemen organisasi modern nirlaba;
2. Pengembangan institusi internal organisasi untuk merespon dan mengantisipasi perkembangan zaman, serta mewadahi kemajuan organisasi dan kader;
3. Peneguhan efektifitas pelaksanaan Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga GP Ansor secara konsekuen dan konsisten;
4. Peningkatkan tertib, efisiensi, dan efektivitas administrasi dan manajeman organisasi yang berusaha menghindarkan diri dari kesan terlampau birokratis, sesuai kebutuhan dan kemampuan GP Ansor;
5. Peningkatan kualitas dan kuantitas penertiban KTA (Kartu Tanda Anggota) sampai ke tingkat ranting;
6. Peningkatan arus komunikasi dan media informasi antartingkat kepengurusan maupun antarkader dan warga sehingga tidak ada kesenjangan informasi;
7. Sosialisasi setiap putusan forum permusyawaratan organisasi di setiap tingkatan kepengurusan sampai ke yang paling bawah, serta berbagai pedoman dan peraturan organisasi;
8. Pengembangan dan peningkatan kualitas pelatihan bagi para kader secara professional;
9. Peningkatan kualitas instruktur kader;
10. Peningkatan wawasan, pengetahuan dan ketrampilan Banser (Barisan Ansor Serbaguna), serta perubahan paradigma Banser dari kecenderungan paramiliter ke penguatan sipil yang berorientasi kemanusiaan;
11. Peningkatan profesionalisme, dedikasi, loyalitas, dan akhlaqul karimah bagi para kader yang memperoleh amanat duduk di luar kepengurusan GP Ansor;
12. Peningkatan kualitas intelektual kader GP Ansor;
13. Mendukung ikhtiar pengembangan bakat, minat, dan kemampuan kader dan warga GP Ansor.
6. Pengembangan paham Ahlussunnah Wal Jamaah yang sesuai dengan perubahan zaman dan peradaban umat Manusia
6.a. Target Program
Terumuskannya paham Ahlussunah Wal Jamaah yang merespon dan mengantisipasi paham, pemikiran, tradisi, dan budaya baru (kontemporer), sehingga menjadi paham yang “membumi’, bersifat nasional, dan terbuka terhadap nilai-nilai demokrasi, HAM, gender dan isu-isu global lainnya sehingga sejalan dengan kebutuhan dan kepentingan umat Islam, bangsa Indonesia, dan peradaban dunia.
6.b. Bentuk-bentuk program
1. Pelaksanaan berbagai kajian kritis dan sistematis untuk pengembangan paham Ahlussunnah Wal Jamaah di bidang keagamaan, politik ekonomi, demokrasi, HAM, gender, serta kebudayaan dengan menempuh manhaj salah satu mazhab yaitu, Hambali, Syafii, Maliki, dan Hanafi;
2. Mensosialisasikan prinsip-prinsip teologis paham Ahlussunnah Wal Jamaah dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan;
3. Sosialisasi dan internalisasi paham Ahlussunnah Wal Jamaah dalam kehidupan sehari-hari kader dan warga GP Ansor, dan keluarga besar NU, serta masyarakat umum.
7. Perintisan jaringan kerjasama dan pelaksanaan program kerjasama dengan badan-badan nasional dan internasional
7.a. Target Program
Terjalin kerjasama dan hubungan baik dengan badan-badan nasional dan internasional di bawah naungan PBB maupun berbagai ormas dan LSM luar negeri yang concern terhadap program GP Ansor, terutama di bidang penguatan masyarakat grass root, konsolidasi demokrasi, dan intelektualitas di kalangan pemuda, serta penguasaan iptek tepat guna untuk wilayah pedesaan.
7.b. Bentuk-bentuk program
1. Melakukan penjajagan dan negoisasi ke berbagai badan-badan internasional, ormas, dan LSM dalam dan luar negeri;
2. Melaksanakan program kerjasama antara GP Ansor dengan berbagai badan internasional, ormas, dan LSM luar negeri dengan melibatkan DPW dan DPC selama tidak ada ikatan dan persyaratan yang merugikan GP Ansor, kepentingan bangsa, dan kedaulatan Negara;
3. Mengirimkan delegasi GP Ansor ke berbagai forum dan seminar internasional yang digelar oleh badan-badan internasional, ormas, dan LSM dalam dan luar negeri.
BAB IX
PENUTUP
Demikian Pokok-Pokok Program Pengkhidmatan GP Ansor masa khidmat 2005-2010 disusun sebagai salah satu ikhtiar GP Ansor dalam merumuskan pengabdiannya untuk kemajuan masyarakat Islam dan bangsa Indonesia. Pokok-pokok program ini masih bersifat umum, karena itu membutuhkan penjabaran secara rinci dan konkret di jajaran kepemimpinan GP Ansor.
Rumusan Pokok-Pokok program Pengkhidmatan GP Ansor Masa Khidmat 2005-2010 ini hanya dapat dijalankan secara optimal apabila seluruh jajaran pimpinan, pengurus, kader, dan warga GP Ansor di seluruh Indonesia merealisasikan tanggung jawab, kewajiban hukum, dan moral, serta kesediaan mengabdikan diri di luar tugas, pekerjaan, dan kesibukannya masing-masing untuk kepentingan organisasi milik kita bersama ini.
Akhirnya semoga Allah SWT. memberikan kekuatan dan kemudahan sekaligus kelancaran bagi kita dalam melaksanakan pokok-pokok program ini sebagai wujud pengkhidmatan organisasi demi kesejahteraan warga, keluhuran Islam, kemajuan masyarakat, dan bangsa.
Ditetapkan di : J a k a r t a
Tanggal :23 Jumadil Akhir 1425 H
03 April 2005 M
Pimpinan Rapat Pleno V
Ketua,
Ttd.
H.M. ALI RAMDHANI
Sekretaris,
Ttd.
BADRUN ALAENA
(sumber: www.gp-ansor.org)
www.gpansorkepanjen.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda